Jurnalis: Amalia Dewi
Unsulbar News, Majene – Organisasi pemuda Sipakatau Management gelar dialog pemuda dan local wisdom di UPT taman budaya dan museum Provinsi Sulawesi Barat (Boyang Kayyang, Buttu Ciping). Minggu siang, 28/01/2024.
Kegiatan berlangsung selama kurang lebih 2 jam tersebut mengusung tema “Eksistensi Kearifan Lokal Dikalangan Pemuda Modern”, yang menghadirkan puluhan pemuda dari berbagai kalangan.
Ketua Sipakatau Management Nurhalisa S Pd, sampaikan bahwa acara tersebut merupakan program kerja (proker) tahunan organisasi, dimana hal tersebut sebagai bentuk kontribusi pemuda guna mengedukasikan sekaligus bahan belajar.
“Program dialog ini sendiri merupakan program tahunan kami sipakatau management, dimana sebagai seorang pemuda sudah menjadi tugas kita untuk berkontribusi dengan cara mengedukasi kesesama pemuda, sekaligus bahan belajar juga,” ucapnya saat ditemui jurnalis unsulbarnews.
Selain menjadi proker, ternyata alasan utama pengadaan dialog sendiri karena mengingat mulai terjadinya pengikisan budaya atau kearifan lokal di era pemuda saat ini.
“Salah satu landasan mengadakan program ini juga selain karena proker, juga menilik dari pengalaman pribadi saya sempat mengalami dan memperhatikan bahwa kearifan lokal ditangan kita itu (pemuda) mulai mengikiski,” sambung wanita berkacamata tersebut.
Kearifan Lokal dalam Tiga Sudut Pandang
Hadirkan tiga pemateri, dalam dialog pemuda tersebut setidaknya menghasilkan tiga pandangan yakni pandangan dari kalangan pemuda, budayawan, dan pandangan akademisi.
Sebagai pemateri pertama, Ketua Karang Taruna Sulawesi Barat (Sulbar) periode 2022-2027 Andi M Ilham Rusali Masdar S AP M Han jelaskan terkait kearifan dan eksistensi dilakalangan pemuda.
Ia memaparkan, bahwa ada salah satu mahasiswa Amerika yang meneliti budaya Indonesia khususnya Mandar. Data penelitian menghasilkan bahwa bahasa Mandar ternyata hampir punah.
“Didata penelitian budayanya itu, budaya di Indonesia ada tiga macam kategori ( hijau, kuning, dan merah) kategori merah merupakan budaya yg hampir punah, dan mirisnya bahasa mandar sendiri masuk kategori merah yang artinya bahasa Mandar itu hampir punah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ilham memotivasi peserta untuk tidak malu menggunakan bahasa daerah dan bangga memperkenalkan Budaya Mandar khususnya Bahasa Mandar.
“Jadi, tugas kita itu memperkenalkan bahasa dan budayata, janganki malu menggunakan bahasa Mandar,” ucapnya penuh harap.
Dalam sesi diskusi, ia juga menjelaskan sebagai pemuda tidak boleh bosan mendengar lagu mandar, apabila bosan dengan ganre itu saja, dapat mengubahnya ke ganre lain. Artinya terjadi penggabungan nilai-nilai tradisional dengan elemen baru agar budaya tetap relevan dan diterima oleh generasi muda dalam perubahan zaman.
“Kita sebagai pemuda mandar ini, dapat membuat inovasi baru, bila bosan dengan lagu mandar ganre Melayu dan atau ganrenya itu-itu saja, nah kita boleh mengubah ke gandre lain seperti pop, rock atau bahkan ganre Rapp,” kata Ilham saat menjawab pertanyaan salah satu peserta.
Disesi berikutnya, hadir sebagai pemateri kedua dan membawakan materi terkait eksistensi kearifan lokal ditangan pemuda, salah satu penggiat budaya Mandar Sulbar Adil Tambono menjelaskan bahwa eksistensian budaya berada ditangan pemuda sebagaimana diketahui bahwa pemuda merupakan agen yang membantu mempertahankan dan menghidupkan kembali kearifan lokal.
Pria yang juga menjadi pembina sipakatau management ini sampaikan, bahwa budaya itu tidak mutlak seni ataupun bahasa tetapi kebiasaan baik yang tidak boleh dihilangkan.
Sebagai contoh ada empat tokoh yang ia angkat, pertama budaya Islam di tanah Arab oleh Rasulullah (nabi umat Islam), kedua budaya kenegaraan Ir Soekarno (presiden Indonesia pertama), kemudian perjuangan budaya Mandar Todilaling (Raja Balanipa), dan terakhir budaya kejujuran Baharuddin Lopa SH (Jaksa Agung RI/pendekar hukum).
“Setidaknya ada empat tokoh yang saya angkat sebagai contoh bahwa budaya bukan hanya seni, tapi nilai nilai yang ditanamkan dan menjadi sebuah kebiasaan yaitu dari segi agama, kenegaraan, budaya mandar, dan budaya kejujuran,” papar pencipta lagu mandar tersebut.
Hadir sebagai pemateri ketiga, menjelaskan dari segi pandangan akademisi Drs Muhlis Hannan MM katakan bahwa kearifan lokal atau local wisdom merupakan kebiasaan yang kemudian menjadi tradisi.
Muhlis Hannan sampaikan bahwa ada beberapa bidang kearifan lokal salah satunya yaitu bidang etika dan kesopan, yakni memuliakan yang lebih tua.
“Sebelum orang yang dipakaraya (dimuliakan) alias orang lebih tua mulai atau selesai makan, maka jangan pergi lebih dulu itulah etika orang mandar, dimana dalam hal kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita harus mampu belajar menahan diri dan lebih menghormati yang lebih tua,” ucapnya.
Ia juga jelaskan bahwa meskipun istilah Pemali di Mandar tidak terbukti secara ilmiah, tetapi hal tersebut merupakan salah satu kearifan lokal maka harus dipertahankan.
“Pemali-pemali orang mandar itu merupakan kearifan lokal, meski tidak terbukti secara ilmiah Pemali itu sudah di sakralkan oleh orang tua mandar dan harus dipertahankan,” tutur Muhlis.
Dosen dari Universitas Al Asyariah Mandar (UNASMAN) ini juga katakan terkait penelitian pisang dan minyak yang digantung di rumah kayu baru dibangun.
“Saya pernah melakukan penelitian terkait beberapa rumah baru yang pisang sampai busuk karena di sakralkan dan takut nanti ada apa-apanya, sebetulnya pisang dan minyak digantung itu diperuntukkan ketukang kayu bisa bisa digorang makanya dikasih minyak,” tutup pria berkacamata tersebut.
Maju terus Unsulbar News, tingkatkan publising berita dan informasi penting dan bermanfaat bagi pembaca dan netizen