Tanggapan Kaum Muda Seputar Pemilu 2019

Gambar : Suasana proses pemungutan suara Pemilu 2019 (dok. Unsulbar News)

Penulis : Nurunnisaa Alimah A
Editor: Masdin

Unsulbar News, Majene – Apakah anda sangat suka berselancar di media sosial? Apabila anda mengecek media sosial anda seperti Instagram, Twitter, dan Facebook maka anda akan melihat beberapa tagar yang ramai digunakan masyarakat untuk menyambut pesta demokrasi.

#Siapapun Presidennya dan #JagaTPSKawalHasilSuara juga #Pemilu2019 menjadi tagar trending di twitter dalam sehari ini.

Dilansir dari CNN Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan pada 17 April 2019 ini merupakan Pemilu yang terbesar dalam sejarah. Ini merupakan Pemilu ke-11 di Indonesia. Negara ini menggelar Pemilu untuk pertama kalinya pada 1955 dan hanya memilih para anggota legislatif, pun tidak digelar rutin selama lima tahun. Pemilu kedua baru ada 1971, sekaligus Pemilu pertama di era Orde Baru. Baru di era itu, Pemilu diadakan setiap lima tahun, meski pernah beberapa kali diwarnai gejolak politik yang membuatnya tertunda atau presiden berganti tanpa melalui pemilihan umum.
Dalam Pemilu 2019, masyarakat Indonesia tidak hanya memilih Calon presiden (Capres) dan Calon wakil presiden (Cawapres) tetapi juga para legislatif. Biayanya pun mencapai Rp24,8 triliun.

Ada lebih dari 192 juta orang terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Mereka yang berada di Indonesia, akan memilih di 810.329 TPS yang dijaga oleh 7,2 juta panitia pemilu. Jumlah panitia tersebut melebihi jumlah populasi penduduk Singapura yang hanya berjumlah sekitar 5,6 juta orang.

Perkembangan teknologi dan media sosial yang semakin pesat rupanya tidak luput dari eksistensi para pro dan kontra dari capres dan cawapres maupun calon legislatif. Beberapa bulan terakhir media sosial menjadi tempat kampanye para tim pemenangan masing-masing calon. Media Sosial menjadi medium yang sangat berpengaruh bagi masyarakat dalam menentukan pilihannya, sayangnya arus informasi yang terlalu masif membuat masyarakat sulit memilah informasi yang valid dan seringkali tidak sadar telah menyebarkan informasi yang tidak benar.

Ujaran kebencian, hasut dan fitnah menjadi konsumsi masyarakat dunia maya. Oleh karna itu, diperlukan adanya literasi digital dan pemberian pemahaman bagi mereka agar tetap bijak bermedia sosial.

Haikal Fikri, seorang relawan TIK yang juga mahasiswa Program studi (Prodi) pendidukan bahasa Inggris Universitas Sulawesi barat (Unsulbar) mengungkapkan keresahannya mengenai ujaran kebencian dan hoax yang beredar di media sosial belakangan ini.

“Tentunya ini sangat meresahkan karna dapat memecah belah kerukunan antar masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi digital sangat diperlukan guna mencegah penyebaran konten negatif di media sosial,” ujarnya kepada Unsulbar News (17/04).

“Hoax akan tetap selalu ada selama literasi digital masyarakat masih kurang, namun dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak penyedia media sosial, pemerintah, hingga aktivis internet dalam menanggulangi masalah hoax ini sudah terlihat dengan adanya kanal positif seperti Aduan Konten Kemkominfo, Mafindo/Hoax Buster,”.

Ia menyarankan upaya yang bisa kita lakukan ialah dengan menganalisa informasi yang kita terima sebelum membagikan informasi tersebut. Kalau informasi tersebut tidak mempunyai sumber yang jelas, maka sebaiknya jangan disebarkan.

Founder Maha-Jek dan Kantin Pintar ini juga mengungkapkan bahwa kekuatan media sosial terletak pada penggunaan tagar untuk mempengaruhi dan menyadarkan netizen tentang pentingnya berpartisipasi untuk memilih dan menjaga TPS agar tidak terjadi kecurangan. Selama pihak penyelenggara, penegak hukum bersikap netral maka kondisi akan tetap kondusif, masyarakat juga harus berperan aktif sebagai saksi untuk meminimalisir terjadinya indikasi kecurangan dengan melaporkannya jika memang terbukti terjadi kecurangan.

Lalu bagaimana pendapat Pemilih Pemula tentang Pemilu 2019 ini?

Arfadhilah, seorang siswi kelas XII jurusan Akuntansi SMK Negeri 8 Majene mengungkapkan pengalaman pertamanya dalam melakukan pemilu, kepada jurnalis Unsulbarnews,

“Kalo pengalaman saya lumayan ribet dan bikin bingung terutama untuk pilpres, otomatis sebagai pemula wawasan mengenai politik masih kurang dan apabila hanya mau melihat info-info dari sosial media kebanyakan hal negatif karna bnyak sekali yg menyebar hoax, dsb. Awalnya saya sudah ada pilihan sebelum hari H, mendekati hari H malah goyang dan ingin ganti pilihan gitu,”.

“Alasannya gara-gara desas desus dari masyarakat, dan banyak lagi. Awalnya saya merasa takut karna tidak hanya merasa di kasih tanggung jawab besar gitu kan, soalnya ini memilih pemimpin yg memimpin negeri ini, kita semua dan bukan waktu yang singkat, 5 tahun kedepan akan ditentukan saat ini. Setelah berfikir kembali yaudah balik lagi sama pilihan pertama dan percaya dengan kata hat, bismillah.” Ungkapnya.

Siswi cantik ini juga menambahkan bahwa yang menjadi kendala saat ini dan masih belum bisa dihilangkan dari kebiasaan pemilu sebelumnya adalah Money Politic (politik uang), walaupun sudah dalam pengawasan yang ketat dan sudah ada peraturan tentang ini tapi tidak bisa dipungkiri masih banyak yang melakukan praktik money politic, apalagi bagi yang awam dan masih pemula.

Sama dengan pendapat Haikal, saat diwawancarai tentang persoalan money politic mahasiswa ini juga mengungkapkan bahwa persoalan politik uang berarti berbicara tentang masalah mental kita sebagai masyarakat, peran kita sebagai sesama pemilih harus tetap saling mengingatkan untuk menolak hal tersebut guna kepentingan jangka panjang.

Siapapun yang melakukan praktik tersebut sudah cukup membuktikan bahwa tidak mempunyai kapasitas untuk menjadi pelayan masyarakat, dan bagi penerimanya sendiri akan terbayang-bayang dengan rasa bimbang dan bersalah karna pada akhirnya akan mereka pertanggung-jawabkan di akhirat kelak.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Follow by Email
YouTube
YouTube
WhatsApp
Tiktok