Oleh : Nurunnisaa Alimah A
Judul: Pulang Penulis: Laela S. Chudori Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Cetakan: Ketigabelas, Februari 2020 Tebal: 461 Halaman ISBN: 978-602-42-4275-6
Tentang Buku
Unsulbar News, Majene. Awalnya saya sama sekali tidak tertarik untuk membaca buku yang bahasannya (menurut saya) agak berat. Bermula pada saat penulis dan karyanya kutemui dalam karya novel lain yang cukup menginspirasi saya. Pada akhirnya setelah beberapa bulan penasaran, kutimang juga karya Laela ini bersama satu novelnya yang lain berjudul Laut Bercerita, tentunya dengan harga diskon. Hari gini cuy, hehe.
Novel berjudul Pulang ini adalah sebuah cerita drama keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965 yang dikenal dengan Gerakan 30 September PKI (G30SPKI), Paris, Perancis Gerakan Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998 pada masa Reformasi. Hebatnya, Laela bisa dengan lihai memainkan alur cerita politik ini terdengar seru dan mencekam di waktu bersamaan.
Penulis yang ternyata merupakan salah seorang wartawan Tempo ini dalam menulis Pulang nampaknya menggambarkan setiap tokoh dengan epik dan tanpa pretensi sosial ataupun personal, yang membuat ceritanya sangat dekat dengan kehidupan kita. Bayangkan kita tengah menonton film di bioskop atau mungkin membayangkan kita ada diantara tokoh-tokoh yang tengah berlakon di kehidupan nyata.
Membaca novel ini, saya merasa di dongengkan tentang masa lalu kelam politik Indonesia. Pada bagian awal menggambarkan pemuda-pemuda eksil politik yang terpaksa hidup terasing dari tanah air, menjadi buronan hingga perasaan ditolak oleh pemerintah Indonesia puluhan tahun juga menjadi bagian pentingnya. Tetapi hal yang lebih menarik adalah bagaimana penulis bisa memasukkan kisah percintaan tokoh-tokohnya tanpa merusak momen-momen politik yang berusaha dibangun sejak awal.
Kalian tidak akan menyangka sedetik setelah membaca bagian flashback tokoh utama tentang kondisi negara Indonesia nun jauh, pada bagian akhirnya ditutup dengan adegan ciuman sang tokoh utama dengan kekasihnya sebagai ekspresi gejolak rasa sakit dan saling menguatkan diantara keduanya.
Sesuatu yang membuat saya jatuh hati adalah pada bagian setting Paris, Perancis dimana memperlihatkan bagaimana pemuda-pemuda ini mempertahankan dan begitu mencintai budaya tanah Indonesia walaupun dibenci oleh pemerintahnya sendiri. Ini sangat kental terasa saat beberapa bagian cerita menggambarkan tokoh-tokoh heroik pewayangan yang selalu dijadikan panutan dan cerita dongeng oleh tokoh utama pertama dalam cerita ini, Dimas Suryo.
Selanjutnya, penamaan tokoh utama generasi kedua yang menunjukkan identitas budaya Indonesia, seorang perempuan bernama Lintang Utara yang merupakan anak dari Dimas Suryo dan istrinya, Vivianne Deveraux, seorang perempuan Paris yang ditemui Dimas saat Gerakan Mei 1968. Saya pikir ada banyak sekali hal yang membuat tokoh utamanya tidak bisa berhenti memikirkan Indonesia, memikirkan tentang pulang.
Pelarian Dimas beserta kawan-kawanya, kondisi politik dua negara hingga hubungan asmara para tokohnya, novel ini menawarkan pengetahuan sejarah secara ringan kepada pembacanya. Pengetahuan sejarah yang jarang diungkap dari suara yang berbeda.