Oleh : Yona Vin Ziolina
Judul: Me and Earl and The Dying Girl Penulis: Jesse Andrews Penerjemah: Reni Indardini Cetakan Pertama: 2016 Pencetak: PT Gramedia Jakarta
Tentang Buku
Unsulbar News, Majene. Saya menemukan novel keren ini pada saat mengunjungi festival literasi di Majene. Waktu itu saya harus rela untuk menelan pahitnya krisis akhir bulan lebih cepat demi membeli buku ini.
Sebelum itu saya sebenarnya sudah menonton filmnya dengan judul yang sama. Tapi kunci kenikmatan sebuah karya adalah menikmatinya dengan media yang berbeda. Biasanya film tidak menceritakan keseluruhan isi novel, sutradara menyadari bahwa tidak mungkin merangkumnya hanya dalam 2 jam penayangan. Jadi untuk mensiasatinya dengan mengurangi atau mengubah beberapa plotnya.
Memang suka sih dengan jalan ceritanya yang saya yakin cukup membosankan untuk beberapa orang karena sebagian besar plotnya diisi dengan dialog. Saya pribadi suka sinematografinya. Tidak ada konflik yang menegangkan, hanya bercerita tentang seorang anak SMA bernama Greg Gaines yang canggung, tidak populer, anti sosial, maniak film, bahkan menyutradarai beberapa film pendek amatir bersama teman kecilnya bernama Earl. Di tahun terakhirnya dia ‘harus’ menemani seorang gadis yang mengidap leukemia atas dasar kemanusiaan yang ditekankan ibunya. Gadis tersebut bernama Rachel seorang Yahudi.
Film dan novelnya menyampaikan cerita yang sama dengan cara yang sangat berbeda tentu saja. Struktur dan ending masalahnya juga dihadirkan berbeda. Novelnya tidak setenang film. Ditulis oleh Jesse Andrews dengan kalimat yang blak-blakan, gaya penulisan variatif, humor yang eksplisit, sedikit sarkas, dan yang saya suka adalah realistis.
Saya suka dengan karakter Earl, dia memang bebas dan kurang terkontrol namun bijak dengan caranya sendiri. Sudut pandangnya lebih dewasa dari pada Greg yang selalu skeptis dan hati-hati dengan kehidupan sosialnya. Rachel sendiri terlihat pendiam di novelnya, dia lebih banyak bertanya dari pada menceritakan kisah hidupnya. Sedangkan difilmnya Rachel terasa seperti teman bodo amatan, pendengar yang baik, sekaligus pemberi nasehat yang baik juga.
Novel ini begitu berbeda dengan novel-novel lainnya, bahkan untuk orang yang hanya membaca 1 atau 2 novel seumur hidupnya akan tahu bagaimana perbedaannya. Kadang-kadang kita disuguhkan kerangka novel biasa, kadang seperti naskah film, kadang berisi dialog tunggal, dan kadang hanya dialog. Beberapa kali Jesse hanya membahas sebuah film, tapi itu tidak masalah. Yang seperti ini membawa pengalaman membaca kita lebih kaya, dan yang paling memukau adalah, bahkan jika sebuah halaman hanya berisi dialog kita tetap memahami situasinya.
Kalau kamu mulai membaca novel itu, kamu akan merasa seperti duduk di Café yang tenang menikmati coklat panas sambil menyimak secara langsung Greg di hadapanmu bercerita dengan santai sambil sekali-kali menyeruput coklatnya sendiri. Kamu tidak seperti membaca novel.