Polemik Revisi UU MD3, Dosen Unsulbar Beri Tanggapan

Gambar : Gedung DPR-MPR RI Senayan, Jakarta

Penulis: Yonavin ziolina, Nurhajia

Editor: Mardiwansyah 

Unsulbar News, Majene. Sudah lebih dari sepekan revisi UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dalam sidang paripurna DPR disahkan (12/2/18) masih memicu reaksi banyak kalangan terkait beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Ada tiga hal di UU MD3 yang dianggap bermasalah. Yaitu, soal hak imunitas DPR, izin pemeriksaan anggota DPR ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), dan pemanggilan paksa DPR.

Misal, di pasal 122 huruf k, disebutkan bahwa MKD diberikan kewenangan mengambil langkah hukum, apabila ada pihak yang merendahkan martabat DPR dan anggota DPR. Masalahnya, di UU tersebut tidak dijelaskan secara gamblang apakah yang dimaksud merendahkan martabat itu. Hal ini telah menyedot perhatian masyarakat khususnya di kalangan aktivis. Banyak pihak yang menilai disahkannya revisi UU MD3 merupakan sebuah kemunduran dalam berdemokrasi.

Dian Fitri Sabrina, S.H., M.H turut memberikan pandangannya mengenai hal tersebut, menurutnya dalam konstitusi, DPR mempunyai kewenangan dalam membentuk UU (Undang-Undang) yang kemudian disetujui dan disahkan oleh presiden, bahkan jika dalam waktu 30 hari tidak mengesahkan UU tersebut maka UU itu dinyatakan tetap berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara Indonesia.

Masalah kemunduran demokrasi, lanjut dosen hukum Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) itu, kembali lagi kepada rakyat. DPR RI mempunyai kewenangan mendengar aspirasi, dan DPR RI dengan jelas menyatakan di berbagai media bahwa mereka tidak anti terhadap kritikan, melainkan terbuka dan transparan berdasarkan asas pemerintahan yang baik.

“Menurut saya kalau ada isu hukum yang muncul terkait dengan UU yang akan dibentuk, ini kan masih revisi ya bukan UU. Jadi UU yang sudah sah dan berlaku nasional untuk warga negara Indonesia dianggap bertentangan (seandainya), dengan konstitusi bisa saja sebagai warga negara mengajukan itu ke MK, ada lembaganya kok,” kata Dian Fitri.

Pasal 245 yang menyatakan soal perlindungan terhadap DPR dikhawatirkan akan berdampak pada kurangnya kebebasan untuk memeriksa anggota DPR seandainya mereka diketahui terlibat korupsi. Namun Dian Fitri mengatakan, KPK mempunyai kewenangan yang kuat salah satunya dalam penyadapan, jadi siapa pun yang terindikasi terlibat korupsi maka akan mudah terlacak. Dan penyadapan itu tidak diungkapkan ke DPR karena merupakan kewenangan KPK.

Dian Fitri menambahkan hal pokok yang perlu diketahui, ketika UU ini terbit dan jika dia bertentangan dengan konstitusi, sudah jelas konstitusi yang akan diutamakan, namun jika UU ini bertentangan dengan UU yang sama tetapi spesifiknya berbeda antara khusus dan umum maka, yang akan diprioritaskan adalah khusus. Jika UU yang baru berhadapan dengan UU yang lama, maka yang diutamakan adalah UU yang baru meskipun yang lama merupakan rujukan lahirnya yang baru.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Follow by Email
YouTube
YouTube
WhatsApp
Tiktok