Penulis: Riska, Siti Nanda Cahya Al Qadri
Unsulbar News, Majene – Mendekati tahun politik 2024, pemilihan presiden dan wakil presiden menimbulkan banyak pertanyaan dan pernyataan, yang menjadi konsumsi hangat di masyarakat.
Seperti belakangan ini adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan pemohon Almas Tsaqabbiru salah satu mahasiswa Universitas Surakarta, mengenai batas usia Calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Dalam putusan yang ditetapkan Ketua MK Anwar Usman bahwa “Bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 (Empat puluh) tahun tetap dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu”.
Dosen Hukum Tata Negara Unsulbar Beri Persepsi
Salah satu Dosen Hukum Tata Negara (HTN), Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), Dian Furqani Tenrilawa SH LL M, turut menuangkan pandangannya mengenai putusan MK tersebut.
Dosen yang juga aktif membuat konten edukasi hukum di TikTok tersebut memaparkan informasi awal bahwa dalam pembahasan batas usia capres cawapres hakim MK, Anwar Usman tidak ikut didalamnya.
Hanya saja, pada saat masuknya permohonan pemohon Almas, Anwar mendaftarkan kembali permohonan tersebut. Padahal awalnya permohonan dicabut.
“Anwar Usman mendaftarkan kembali permohonan ini secara tiba-tiba, pada hari Sabtu sedangkan pada hari Sabtu tidak ada yang beroperasi kerja. Maka hal ini, ada cacat prosedural dan juga kalau permohonan sudah dicabut maka tidak boleh didaftarkan kembali,” ucap Dian Furqani saat ditemui unsulbarnews.com (14/11).
Hakim Ketua MK Terbukti Melanggar Kode Etik Berat
Menurut penjelasan Dian, salah satu hal yang membuat putusan MK ini heboh di masyarakat, karena ternyata salah satu cawapres yaitu Gibran Raka Buming Raka (salah satu cawapres) ternyata ponakan dari ketua MK tersebut. Maka mengenai hal tersebut, Anwar dilaporkan ke kode dewan etik.
Dia juga mengatakan, pria berkacamata tersebut dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), dan hasil terbaru terbukti telah melanggar kode etik berat.
“Pada saat proses sidang MKMK, terbukti memang benar adanya, Anwar Usman melanggar kode etik berat, yang menyatakan bahwa memang benar, adanya intervensi kekuasaan,” ungkap dosen HTN tersebut.
Anwar Usman Tak Lagi menjabat sebagai Hakim MK
Selain melanggar kode etik berat dan melakukan intervensi kekuasaan, tenyata putusan MK tersebut juga melanggar Konstitusi, serta putusan tidak disentuh untuk dibahas kembali hanya disetujui dan disepakati.
Mengenai hal tersebut, setelah Anwar Usman diberhentikan sebagai hakim dan dilarang untuk ikut bersidang. Informasi yang didapat, pada saat diberhentikan, ada empat permohonan pengajuan yang masuk mengenai umur cawapres.
Namun sayangnya, MK tidak membahas hal tersebut, hingga sampai pada tanggal 13 November 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan, tiga kandidat capres cawapres dan keputusan ini sudah tidak dapat diganggu gugat.
Lebih lanjut dosen yang kerap disapa Dean mengungkap, putusan MK secara terang-terangan melanggar konstitusi, dan mengurangi rasa kepercayaan terhadap MK.
“Putusan MK mengenai umur capres cawapres, secara nyata mencederai konstitusi, hal ini menyebabkan indenpendensi kekuasaan kehakiman dihadapan politik luntur, MK tidak dapat menjaga marwahnya dib hadapan publik, dan pasti ada banyak keraguan terhadap MK kedepannya,” tuturnya.