Oleh : Dermawan, Mahasiswa (Peternakan, angkatan 2018 /BEM Fapetkan)
Unsulbar News, — Kehidupan sosial masyarakat saat ini dihadapkan pada fenomena Post- truth. Dimana sebuah kondisi di masyarakat mengabaikan fakta-fakta dan etika-etika dalam berpendapat dan cenderung menyepakati hal-hal yang lebih dekat dengan keyakinan pribadinya.
Post-truth sendiri adalah salah satu fenomena kontemporer dalam kehidupan masyarakat maupun sosial. Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth”.
Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang harus diakui propaganda negara-negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik global.
Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan. Kemudian di tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang kurang lebih sama: truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.
Puncaknya adalah di tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan presiden di Amerika, dimana para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar.
Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang menggemparkan. Sampai-sampai, kamus Oxford menobatkan post truth menjadi word of the year, dan mendefiniskan Post-truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Sejak awal, istilah post-truth digunakan dalam kesamaan makna sebagai “menyebarnya disinformasi” di tengah masyarakat. Kamus Oxford mendefinisikan istilah ini sebagai “kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal”.
Dengan kata lain, post-truth adalah kondisi saat masyarakat lebih “membenarkan” ajakan, seruan, hasutan, atau propaganda pihak tertentu atas dasar emosi dan kesamaan perasaan. Apakah ajakan, seruan atau hasutan itu benar atau tidak, bukanlah hal yang terlalu penting.
Kondisi ini, sebagaimana kemunculan istilah post-truth, cukup mengkhawatirkan. Dampaknya, masyarakat diselubungi antitesis dari pengetahuan dan kebenaran yang hakiki. Masyarakat post-truth akan rentan terprovokasi informasi yang diproduksi dengan tujuan untuk mempermainkan dan mengaduk emosi khalayak dan menggiring sebuah kebenaran dalam menyampaikan informasi dan gagasan.
Menurut Eko Sulistyo ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya fenomena post truth di Indonesia khususnya dalam jalannya konstelasi politik 2019. Dimana ia menjelaskan bahwa yang pertama adalah, kemajuan teknologi informasi yang tidak diimbangi oleh kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat.
Maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa bagaimana respon masyarakat bahkan pemerintah dalam fenomena Post-truth hari ini kurang adaptif dan kongret yang akhirnya malah semakin menenggelamkan dinamika politik kearah fenomena Post-truth.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia. Menurut laporan We Are Social, terdapat 204,7 juta pengguna internet di tanah air per Januari 2022. Durasi layar atau seberapa lama individu berada di depan gadgetnya sekitar 8 sampai 12.
Dikatakan koneksi ke sosial media durasi layar terlama yaitu sekitar 4 sampai 8 jam setiap hari. Itu artinya sepertiga waktu dihabiskan di sosial media dan hampir setengah hari atau 12 jam dalam sehari dihabiskan di depan layar. Disaat bersamaan ketika indeks komsumsi digital begitu tinggi, indeks literasi negara kita berapa pada peringat terendah sehinggah lahirlah generasi miss informasi.
Hal ini menjadi ancaman serius karena Post-truth ini menjadi semakin mengkhawatirkan pasca teknologi internet berkembang sangat pesat seperti sekarang ini. Asumsi pribadi yang sangat mungkin salah bisa tersebar begitu cepat dan juga merepresentasikan asumsi kolektif publik.
Dampak negatif yang disebabkan Post-truth ini dikarenakan cepatnya perputaran yang ada dimedia sosial, kemudian dengan mudahnya dikonsumsi semua kalangan dan dianggap itu sebuah kebenaran. Namun yang menjadi kelucuan kaum-kaum terdidik pun, dengan mudahnya mempercayai akan apa yang mereka liat namun tak pernah mencoba menelaah apa yang mereka lihat itu merupakan ditte serta pembohongan yang merusak pola pikir.
Contoh kecil di kalangan mahasiswa, apa yang viral di medsos itu yang akan dilakukan karena di anggap trend. Melainkan itu merupakan pembodohan yang dimasukkan kemedia agar mahasiswa tak lagi memperhatikan realitas dan hal hasil yang terjadi realitas menjadi dunia maya dan dunia maya yang menjadi realitas.
Banyak dari kalangan mahasiswa yang secara tidak langsung menyukai berita yang viral dan tanpa melihat fakta yang ada, tetapi ada juga mahasiswa yang berpikir kritis dalam membaca maupun menanggapi sebuah berita yang beredar dikalangan masyarakat tanpa melihat fakta yang terjadi.
Dalam fenomena yang terjadi mengenai berita Post-truth, timbul berbagai macam persepsi dari mahasiswa mengenai isi berita yang mengandung kebohongan. Persepsi mahasiswa sangat penting dalam menanggapi isi berita Post-Truth di media social. Khususnya mahasiswa di Kabupaten Majene baik yang akademisi maupun yang aktif di organisasi, kesadaran akan berfikir secara kritis mestinya lebih dikedepankan. Mengapa demikian, karnea representasi Majene sebagai kota pendidikan di Sulawesi Barat.
Tentunya dengan fenomena Post-truth yang saat ini marak terjadi, apakah mahasiswa mampu menjadi kontrol sosial atau hanya justru sebagai pelaku Post-truth, penyebar hoax, dan kekerasan kekerasan dalam bermedia sosial lainnya.