NILAI ITU BUKAN ANGKA

Gambar: Ilustrasi (Unsulbar)

Oleh: Abraham La Ode

“ . . . Salah satu pemikiran dosen yang unik itu ialah terkait kritik sang dosen
terhadap universitas – yang sebenarnya belum pantas disebut universitas.
Pasalnya, jebolan-jebolan universitas hanyalah sebatas sarjana fakultas
bahkan prodi. Kalau universitas, ya jebolannya juga harus sarjana universitas.
Banyak tau tentang banyak hal. Bukan banyak tahu tentang sedikit hal apalagi
tahu sedikit tentang sedikit hal”

Nilai. Arno tidak begitu memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan
nilai. Maklum, penyebabnya mungkin karena ia berasal dari desa alias
kampung. Orang-orang desa di mana pun itu tidak suka merumus-rumuskan
segala sesuatu yang mereka alami. Mereka cenderung melakukan apa saja
menurut mereka baik. Mereka hanya mengambil nilai atau hikmah dari apa
yang mereka alami. Ini juga yang berlaku terhadap Arno. Bila ia ditanya “apa
pekerjaanmu?”, biasanya ia menjawab “yang aku kerjakan hari ini adalah
pekerjaanku”.

Zaman memang sangat cepat berubah. Malam hari kita tertidur, besok pagi
terbangun dengan berjuta perubahan yang dialami dunia meski terkadang
kita sendiri tidak menyadari itu. Perubahan-perubahan tersebut telah
menggiring atau memotivasi sekumpulan manusia – di belahan dunia lain –
untuk mencoba merumuskan apa sebenarnya yang sedang dialami manusia.
Tidak hanya di zaman sekarang, sekumpulan manusia spesies baru itu juga
merumuskan – dengan cara meneliti – apa yang terjadi di masa lalu dan
bagaimana keadaan di masa depan. Perkembangan yang sangat
menakjubkan. Dengan demikian, segala aspek dunia – terutama di bidang
ilmu pengetahuan – mengalami institusionalisasi.

Lihat saja di dunia per-jurnal-an ilmiah internasional, setiap lima menit ilmu
pengetahuan berkembang alias bergerak menuju pemahaman-pemahaman
dan formula-formula baru yang lebih realistis dibanding sebelumnya.
Pendidikan, teknologi, informasi, ekonomi, pertanian, dlsb. mengalami
perubahan setiap saat.

1

Sekumpulan manusia spesies baru tersebut menamakan diri sebagai “kaum
intelektual”. Semenjak kurang lebih 200 tahun yang lalu, manusia didoktrin
bahwa abad pencerahan itu telah dimulai di belahan dunia bagian barat.
Pencerahan yang dimaksud tersebut kemudian didengungkan ke seluruh
pelosok bumi. Wujud nyata dari slogan “zaman pencerahan” adalah adanya
institusi-institusi pendidikan berupa sekolah dasar, sekolah menengah dan
sekolah tinggi atau kampus-kampus. Di tempat-tempat inilah segala

persoalan manusia diteliti, dianalisis,

dirumuskan,

disimulasi

dan

dinterpretasi.

Perubahan-perubahan itu pada akhirnya sampai juga di kampung-kampung,
termasuk kampung Arno. Semua orang menyambut baik perubahan-
perubahan ini. Bagaimana tidak, pencerahan disamakan artikan dengan
pencerdasan atau kemajuan. Kehidupan tidak akan pernah mandek lagi.
Bahkan lebih dari itu, setiap orang tua – di negeri Arno tinggal – berbondong-
bondong menjebloskan anak-anak mereka ke dalam dunia baru itu. Arno
termasuk salah satu anak yang ikut merasakan penjeblosan itu. Ia
mengenyam pendidikan formal mulai dari SD hingga kuliah.

Beberapa tahun yang lalu – semasa kuliah – Arno pernah berdialog dengan
seorang pendidik di universitas. Dosen tersebut termasuk salah satu dosen
yang langka. Mengapa langka? Ia memiliki pemikiran yang sangat berbeda
dengan pemikiran dosen pada umumnya. Ia adalah anti mainstream. Salah
satu pemikiran dosen unik tersebut ialah terkait kritik sang dosen terhadap
universitas – yang sebenarnya belum pantas disebut universitas. Pasalnya,
jebolan-jebolan universitas hari ini hanyalah sebatas sarjana fakultas bahkan
prodi. Sarjana ekonomi hanya tahu ekonomi, sarjana fisika hanya mengerti
fisika, sarjana teknik hanya paham teknik dll. “Kalau universitas, ya
jebolannya juga harus sarjana universitas. Artinya, Banyak tahu tentang
banyak hal. Bukan banyak tahu tentang sedikit hal apalagi tahu sedikit
tentang sedikit hal”, kata dosen unik itu. Beliau juga menambahkan
“universitas itu diganti saja dulu namannya menjadi paguyuban fakultas-
fakultas”.

Dialog-dialog menggigit yang pernah Arno alami bersama dosen itu
menginspirasi Arno. Lalu, ia tuangkan dalam beberapa lembar buku
hariannya. Ia menulis tentang nilai dan angka.

“Salah satu dari tiga tujuan utama dari seorang pendidik ialah mengajar.
Lebih tepatnya mendidik bukan mengajar. Mengajar belum tentu mendidik.
Dan, mendidik sudah jelas mengajar. Dosen juga adalah seorang pendidik. Ia

2

seharusnya menularkan nilai-nilai bukan angka-angka. Pengalaman kita di
dunia kampus telah memberikan gambaran jelas terhadap kiprah para dosen.
Sejauh ini, dosen kebanyakan hanya disibukkan dengan urusan administrasi.
Waktu mereka terserap oleh aktivitas-aktivitas yang bersifat teknis. Kita bisa
lihat dari cara mereka mengajar. Kebanyakan mereka hanya sekedar
mengajar untuk menggugurkan kewajiban saja. Dalam ruang kelas tidak
terjadi dialog. Artinya, komunikasi hanya berjalan satu arah. Dosen
menjelaskan mahasiswa menerima apa yang dijelaskan. Dosen seakan tidak
perduli apakah para peserta didik paham atau tidak. Sangat kaku dan tidak
mencerminkan proses intelektual – proses mencerdaskan.

“Tujuan diadakannya perkuliahan adalah membawa setiap peserta didik untuk
mencapai kecerdasan kolektif. Tercapainya kecerdasan kolektif tentunya
dijembatani oleh keseimbangan kolektif. Hal ini sepertinya tidak akan tercapai
bila dosen hanya sibuk dengan papan tulis. Apalagi dosen menjadikan anak-
anak cerdas sebagai patokan. Artinya, bila di dalam ruang perkuliahan telah
ada beberapa anak yang paham terhadap materi yang disampaikan, sang
dosen sudah merasa puas tanpa memperdulikan peserta didik lainnya. Bila hal
ini telah membudaya dan menjadi tradisi, maka saya pribadi menilai hal ini
sebagai salah satu bentuk kegagalan dosen.

“Bila peserta didik gagal dalam ujian, maka kesalahan adalah seratus persen
milik peserta didik. Dosen sama sekali tidak memiliki andil dalam hal ini. Dosen
berlepas tangan dari pencapaian peserta didik itu. Bukan kah proses belajar-
mengajar adalah suatu rangkaian sistem? Bukan kah sistem pasti saling
berkaitan satu sama lain? Bagaimana mungkin seorang dosen bisa
menyalahkan peserta didik tanpa merasa bersalah secuil pun? Bagaimana
mungkin seorang dosen tidak bisa menilai diri sendiri? Sesempurna itu kah
seorang dosen? Bukankah dosen adalah pendidik?”

Arno meneruskan catatan-catatannya yang hampir semua bernada kritikan
terhadap dunia kampus.

“Sebetulnya saya merasa malu bila bicara tentang nilai. Sebabnya adalah
seolah memunculkan gambaran bahwa saya adalah manusia yang paling
bernilai dan paham tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai. Sama
sekali tidak. Saya menuliskan semua ini hanya karena rasa ingin berbagi
semata. Tukar tambah pikiran. Itu pun bila ada yang membaca dan membuka
pikiran.

3

“Perkembangan dunia memang terkadang membawa kita ke ladang kering-
korontang akan air nilai. Bayangkan saja, manusia sekarang telah banyak
melupakan hal-hal fundamental. Mendasar. Padahal, seharusnya manusia
tetap mengamalkan hal fundamental itu. Salah satunya ialah nilai.

“Orang-orang zaman sekarang menyamakan nilai dengan angka. Angka
adalah nilai dan nilai adalah angka. Ini pemahaman keliru. Setidaknya bagi
saya pribadi.

“Nilai bukan angka. Sama sekali bukan. Dan, nilai tidak akan pernah bisa
diangkakan. Nilai itu asbtrak dan merupakan inti dari kehidupan. Angkah
ialah hal nyata dan bisa direkayasa dan dimanipulasi. Nilai diperoleh dari
usaha dengan berbagai proses yang dilalui. Semakin banyak kita memberi
manfaat, kita dengan sendirinya telah menjelma menjadi manusia yang
bernilai. Tak ternilai. Apakah usaha, proses dan manfaat bisa diangkakan?
Tentu tidak. Sekolah-sekolah harusnya menghasilkan manusia bernilai, bukan
berangka. Manusia berangka adalah manusia yang kerjaannya menghitung
angka-angka termasuk angka kekayaan.”

“Pernah kah dosen berpikir dalam dimensi nilai, bukan angka? Pernah kah
dosen mendahulukan aspek nilai, bukan angka? Pernah kah dosen merasa
bersalah atas rendahnya pencapaian anak didik meski hanya seorang?
Pernah kah dosen berpikir dialektik? Bukan kah pencapaian peserta didik
adalah akibat? Apa pula sebabnya?”, pikir Arno sembari menutup catatan
hariannya dengan penuh keprihatinan.

4

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Follow by Email
YouTube
YouTube
WhatsApp
Tiktok