Lelaki Tua dan Kematiannya

Gambar ilustrasi (cendananews.com)

Oleh: Yona Vin Ziolina

Penulis adalah mahasiswa hubungan internasional 2017

Lelaki tua itu berbaring di dalam kelambu kusamnya dengan perasaan ganjil melingkupi pikirannya. Udara dingin yang dirasakannya bukanlah udara dingin yang seharusnya ada di bulan Juni. Bertahun-tahun lalu, ketika tenaganya belum termakan waktu, udara bulan Juni selalu memberikan rasa hangat dan nyaman di kulitnya. Dia bahkan dapat tertidur pulas tanpa memasang kelambu, kecuali karena ditelinganya nyamuk-nyamuk berdenging ribut. Dengan udara dingin yang tiba-tiba memenuhinya itu, membuatnya merasa kesepian sekaligus ketakutan.

“Mungkin karena aku sudah tua?,” bisiknya lebih kepada dirinya dari pada langit-langit samar kelambu yang ditatapnya.

Dia tidak menyangkal kenyataan bahwa dirinya sudah tua. Keriput telah menjalar di permukaan kulitnya dan urat-uratnya menonjol terlihat seperti serangkaian akar. Otot kaki dan tangannya juga mulai tidak bisa diajak kompromi, setiap saat menuntut istirahat ketika aktivitas masih penuh sesak dalam pikirannya. Sehingga sisa-sisa hari dilaluinya hanya dengan duduk dan termenung.

Lelaki tua itu sebenarnya tidak tinggal sendirian, ketika istrinya yang sabar dan penuh kasih sayang meninggalkannya karena sakit, putra tertuanya datang untuk menampungnya, menjauh dari pedesaan dan hidup di tengah-tengah kota yang gerah. Dalam hatinya lelaki tua itu tidak suka mendengar kata ‘tampung’, selain menunjukkan makna yang tidak ikhlas, dengan kata itu, seolah-olah suatu hari nanti dia akan dibuang dan ditinggalkan. Tapi kata itulah yang selalu dilontarkan oleh putranya ketika berbicara dengan orang-orang dan lelaki tua itu menerima begitu saja. Bukan hanya dia yang ditampung, putra termudanya yang pengangguran ikut hidup dalam rumah kontrakan sederhana itu, yang hampir setiap saat pulang dengan bau alkohol, memancing keributan di bawah atap rumah, menambah kesedihan di hati lelaki tua.

Lelaki tua menyadari bahwa dirinya ditampung semata-mata karena uang tunjangan dari pemerintah untuknya sebagai veteran prajurit perang yang selalu masuk tiap bulannya, meskipun tidak banyak, kadang terlambat, namun lumayan membantu meskipun dalam sejam akan segera habis, dan itu tidak cukup untuk menghargai kehadiran lelaki tua. Orang-orang di rumah itu terkadang menutup telinga, tak peduli pada nasihat dan ucapan-ucapan lelaki tua tersebut, membuat hatinya terkoyak. Ada kalanya mereka juga bersikap sangat manis, tak pernah tahu alasannya.

Putra tertuanya tidak punya sesuatu yang berharga dalam rumahnya, hanya ada motor bebek tua yang suara mesinnya selalu membuat tetangga gusar ketika dipanaskan di pagi hari. Ijazah SMA-nya hanya dapat membawanya pada posisi satpam di pabrik kaos kaki di pusat kota. Sedangkan menantunya memiliki sifat pemarah sekaligus pendengki, tidak bisa mengharapkan apa-apa dari gaji bulanan suaminya selain tuntutan uang belanja untuk makan di hari itu juga. Keempat cucunya berderet seperti pion catur, masih sangat kecil-kecil dan butuh asupan gizi yang layak, merengek setiap akhir pekan meminta kembang gula. Terkadang bila tak ada pemasukan pada bulan-bulan tertentu, putranya pergi untuk berutang. Sehingga utang menunggak, belum lagi bayar tagihan listrik, air, dan kontrakan.

Karena hari-hari demikianlah tiap malam menjelang tidur, segala rasa bersalah dan rentetan penyesalan melayang-layang di benak lelaki tua itu. Mengapa dia dulu tidak menyekolahkan anaknya dengan baik?. Mengapa dia tidak mati saja di medan perang, sehingga dia tidak akan menjalani hidupnya yang sekarang?. Pertanyaan-pertanyaan itu mengantarnya terlelap dalam mimpi-mimpi yang aneh, berharap dalam tidurnya maut segera menyeretnya dan dia tidak akan terbangun lagi, namun saat surya terbit, dia tetap terbangun, segala rasa putus asa kemudian mengawali harinya.

Tapi malam di bulan Juni itu, bukan rasa bersalah atau penyesalan seperti biasanya, melainkan sebuah ketakutan. Dia terbaring diam dan gelisah, udara dingin menyerang masuk ke dalam tulangnya, kehangatan bulan Juni sepertinya tidak mau lagi berpihak padanya. Sambil menarik selimut tipis dia membalikkan tubuhnya, menatap sayup-sayup cahaya lentera di luar kamar, yang di pasang pada waktu larut.

“Apakah akhirnya kematian sedang menghampiriku?” Pikirnya, “jadi seperti ini sensasinya,”

Lelaki Tua itu merasa tidak percaya diri, dia diliputi ketakutan besar. Maut pada akhirnya akan datang pada manusia, dan itu terjadi setiap hari. Inilah waktu bagi dia, tapi dia merasa belum siap. Padahal selama ini mengandai-andai mengapa dia tidak mati saja saat perang, tidak mati saja saat tidur, lalu mengapa dia begitu ketakutan sekarang?. Cemoohan dari otaknya bergulir, dia dapat mendengar suara hatinya mengejeknya pengecut, pecundang, dan penakut. Di sisi lain setengah dari suara hatinya memohon untuk bertahan, dia belum siap, dia belum melakukan apa pun yang berarti dalam hidupnya. Dia belum memberikan apa-apa pada anak-anaknya dan dia tidak mau mati tanpa arti begitu saja. Dia berjanji tidak akan meminta kematian itu lagi.

Udara semakin dingin membuat dadanya sesak. Sejurus kemudian kepalanya kini seolah terputar-putar, tenggorokannya terasa kering, selama beberapa waktu, sebuah pusaran abu-abu gelap menyedotnya, pelan-pelan menarik jiwanya, dia tidak merasakan tenaganya lagi, tubuhnya lemas dan menjadi ringan tak berasa apa-apa. Hatinya masih terdengar memelas, memohon, dan terus memohon namun terdengar semakin menjauh, lalu mencicit, dan hilang. Lalu semuanya sirna menjadi gelap.
Tetapi matanya terbuka ketika kokok ayam terdengar bersahut panjang, dengan keringat membasahi tubuhnya. Suara nafas dan detak jantungnya berjalan tidak beraturan, seolah-olah baru dikembalikan dalam tubuhnya. Dia kembali ke kelambunya, alih-alih berada di surga atau neraka seperti yang dibayangkannya. Perlu waktu lama menyadari apa yang terjadi, sampai lelaki tua tersebut sadar bahwa dia telah melawan kematiannya. Dia mengedarkan pandangan di sekelilingnya dengan waspada seolah kematian mengintip dimana saja. Semua tampak normal, dia menghela. Kematiannya untuk waktu yang lama tidak akan kembali.

Suara kokok ayam seketika berhenti. Sunyi sebentar, namun sayup-sayup sebuah suara obrolan dengan bisikan dari kamar sebelahnya tempat putra dan menantunya tidur, itu menandakan bahwa mereka telah terbangun. Lelaki tua itu memasang telinganya baik-baik, karena dia mendengar namanya disebut-sebut.

“Ayahmu sudah tua bukan? Kira-kira berapa uang asuransinya ketika dia meninggal nanti?,” tanya menantunya.

“Pelankan suaramu jangan sampai dia mendengar kalau kita mengharapkan dia segera meninggal, kita tunggu saja,” balas putranya pelan.

Hati lelaki tua tersebut mencelos, matanya segera menerawang ke penjuru arah putus asa mencari-cari sosok kematiannya kembali, tadi sudah nyaris, tetapi dia sudah berjanji untuk tidak meminta kematian itu kembali dalam waktu yang lama.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Follow by Email
YouTube
YouTube
WhatsApp
Tiktok