Laporan Khusus : Masdin
Unsulbar News, Majene — Isu kasus Human Immunodeficency Virus (HIV) belakangan ini heboh di masyarakat. Pasalnya berita terjadi lonjakan HIV yang meningkat sekitar 400 kasus pertahun di Kota Bandung.
Lebih menghebohkan publik, dikatakan bahwa sekitar 400 kasus HIV di kota Bandung dialami mahasiswa. Meski kemudian Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan, data itu merupakan angka akumulasi selama 31 tahun.
Terlepas dari itu, kehadiran HIV menjadi hal yang perlu dicegah penularannya di masyarakat. Mengingat hingga saat ini belum ada pengobatan yang 100 persen dapat menyembuhkan penderitanya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, hingga Juni 2022 total pengidap HIV di Indonesia mencapai 519.158 orang yang tersebar di seluruh provinsi.
Pertanyaannya kemudian, berapa banyak kasus HIV di provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dan benarkah kasusnya bak fenomena gunung es?
Lewat seminar kesehatan “Cegah HIV agar Sulbar bebas AIDS” digelar Korps Sukarela (KSR) PMI unit Unsulbar pada Minggu (18/9/2022). Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Unsulbar, Muhammad Irwan S Kep Ners M Kes menuturkan jumlah HIV berdasarkan dari Dinkes Sulbar sebanyak 173 kasus.
“Berdasarkan data jumlah penderita HIV di Sulbar sebanyak 173 kasus, ini dari berita Tribun-Sulbar.com yang diambil dari Dinkes Sulbar,” ujarnya saat bawakan seminar di aula Tasha Center, Tandung, Tinambung, Polewali Mandar, Sulbar.
Data akumulatif empat tahun terakhir, atau mulai 2018 hingga Juli 2022 itu, dikatakan kabupaten Mamuju dan Polewali Mandar menjadi tertinggi kasus HIV.
Namun, kata Irwan, Kabupaten Majene memiliki potensi besar melampaui dua kabupaten tersebut. Dengan alasan Majene sebagai kota pendidikan sering kedatangan mahasiswa baru atau pelajar dari berbagai daerah di Indonesia.
“Tidak menutup kemungkinan mahasiswa yang datang pernah seks bebas dan terinfeksi HIV,” terang Irwan.
Perihal fenomena gunung es, pria juga Wakil Dekan I Fakultas ilmu kesehatan Unsulbar menjelaskan, orang bisa saja terinfeksi HIV namun tidak sadar.
Meski sudah terpapar HIV, ia tetap akan terlihat sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa. Padahal saat itu dirinya sudah bisa menularkan ke orang lain.
“Bisa saja 10 hingga 15 tahun kemudian baru nampak dia itu penderita HIV,” ujarnya.
Sehingga diibarakan gunung es, yang terlihat atau terdata hanya bagian kecil yang berada dipermukaan saja. Masih ada bagian tidak terlihat dibawah permukaan yang jauh lebih besar.
Meski ada gejala awal seperti terjadi benjolan pada getah bening dan sistem imun menurun. Tetap untuk mengetahui seserang menderita HIV atau tidak harus lewat diagnosa medis.
Salah satu hal yang juga mendukung fenomena gunung es, kata akademisi Unsulbar itu karena tindakan penolakan bagi penderita HIV. Sehingga sesorang enggan terbuka dan melakukan pemeriksaan medis.
Padahal langkah tersebut perlu untuk mengetahui apakah terinfeksi HIV atau tidak. Sehingga bisa dilakukan penangananan yang tepat.
Adapun orang dengan HIV/AIDS tidak harus dihindari dan dikucilkan dari kehidupan sosial. Namun perlu disupport untuk mengikuti pengobatan sebagai langkah pencegahan.
Sebagai langkah pencegahan, ia menghimbau masyarakat agar menghindari kegiatan berisiko seperti seks bebas, dan penggunaan jarum suntuk secara bersama.
Serta hal terpenting dan perlu ditingkatkan adalah memperkuat keimanan.