Cerpen: Keinginan Karin

Ilustrasi cerpen keinginan Karin/Sumber: Pinterest

Karya: Nuralisa

Unsulbar News, Majene – Gadis berambut sebahu itu menunduk, menggenggam  kertas di tangannya kuat-kuat. Ia telah duduk berjam-jam di bangku taman dengan kertas berisi nilai ujian yang baru diumumkan tadi pagi.

“Andai aku berusaha lebih keras, pasti nilainya tidak akan seburuk ini,” gumamnya.

“And my dad said, ’Shawn, stay with me

Everything will be alright

I know I haven’t seen you lately

But you’re always on my mind’.”

Lagu yang terdengar di telinganya membuatnya terguguk. Kalimat itu, ingin dia dengar dari ayahnya sekali saja. Dia ingin ayahnya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, itu hanya akan jadi angan, ’kan? Sebab, pada kenyataannya semua akan memburuk setelah ayahnya tahu bahwa peringkat dan nilainya menurun. Ia sungguh takut. Mengingat bagaimana reaksi ayahnya tahun lalu ketika mengetahui dia tidak mendapat nilai sempurna, bagaimana pukulan dan tendangan yang ia terima membuat tubuhnya remuk, sakit sekali.

Ayahnya yang seharusnya memberi perlindungan, menjadi tempatnya mengadu, malah menjadi orang memberi luka di tubuhnya. Sekali saja, ia ingin merasakan kasih sayangnya atau perhatian-perhatian kecil yang tidak pernah didapatnya sejak kecil.

Gawai gadis itu berdering nyaring, dengan takut-takut ia melirik nama penelepon dari seberang sana. Amira, sahabatnya. Juga tertera puluhan pesan di layar ponselnya dengan kalimat yang menanyakan keberadaannya.

Ragu-ragu, ia mengangkat panggilan Amira setelah dering ke lima. “Halo?”

“Di mana?” tanya seseorang dengan suara berat. Tidak, itu bukan Amira.

“Ayah?”

“Pulang,” titahnya.

Panggilan telepon itu mati.

Nada suara ayahnya ketika marah sudah ia hapal sekali. Beliau pasti telah mengetahui nilainya ujiannya dari Amira. Degup jantungnya berdetak kencang sekali, rasa takut dipukuli mendera hingga kesulitan menelan ludah.

Terkadang, bahkan beberapa kali dia berpikir lebih baik mati daripada menghadapi amukan ayahnya. Namun, dia takut saat dia tewas tak akan ada satupun yang menangisinya. 

Karena seseorang seperti dirinya memang tidak seberharga itu.  Lagipula, dunia tidak akan berubah meski ia memutuskan untuk “lari”.

___

“Kamu pikir, saya menyekolahkan kamu untuk main-main?”

Suara itu membuat Karin terpaku, tidak berani menatap lawan bicaranya. Ia hanya menunduk, sesekali menatap takut-takut.

“Maaf,” cicitnya. “Karin sudah belajar, tapi beberapa soal ujiannya susah, Ayah.”

“Kalau memang kamu belajar seharusnya soalnya mudah, ’kan?” tanya Ayahnya setelah meneguk kopi hitam di tangan kanannya.

“Ayah hanya meminta kamu untuk mendapat nilai sempurna, sialan!” teriak ayahnya.

Ttak … ttak ….

Pecahan gelas yang tadinya berisi kopi panas itu mengenai kakinya. Ia tersentak, rasa panas menjalar di seluruh permukaan kakinya.

“Karin belajar, Ayah. Karin belajar mati-matian demi mendapat kasih sayang ayah. Karin berusaha sekeras mungkin mendapat perhatian ayah. Sekali saja, lihat usaha Karin. Sekali saja …,” ucapnya dengan berani menatap mata ayahnya.

Wajah pria paruh baya di depannya memerah, ia dengan cepat berdiri. Langkah kakinya terburu-buru mendekati anaknya. Tangan kirinya mencengkram rambut gadis itu dengan kasar. “Anak sialan! Kamu pikir usaha kamu bisa mengembalikan istri saya? Harusnya yang mati saat itu kamu, Sialan!” Pria paruh baya itu membenturkan kepala Karin ke siku meja.

“Kamu pembawa sial!”

“Ayah, sakit. Berhenti … Karin minta maaf,” rintihnya.

“Kembalikan istri saya, Sialan!”

“Ayah, tolong. Kepala Karin sakit, tolong berhenti ….”

“Ga berguna! Kamu yang seharusnya mati saat itu.”

Setelah beberapa kali membenturkan kepala putrinya ke meja, pria itu melepaskan tangannya. Tubuh gadis itu terjatuh, lunglai.

Seketika melihat darah di kepala Karin, dia gemetar. Pria itu melangkah mundur. “Karin …,” panggilnya.

“Ayah.”

Samar-samar mendengar panggilan, ia melangkah mendekat. Melihat sekelilingnya dipenuhi beling kaca, membuatnya mengangkat tubuh Karin. Darah memenuhi kepala gadis berusia 18 tahun itu.

“Karin minta maaf sudah bunuh ibu, tapi itu bukan mau Karin.”

“Diam,” balasnya sedikit khawatir. la meletakkan gadis itu di sofa ruang tamu.

”Ayah.”

“Ayah.”

Pria paruh baya itu menengok sekilas. Ia memencet beberapa nomor di gawainya.

“A—yah.”

Pria baruh baya itu tetap abai.

“Karin sayang … a-yah.”

Sudah. Ia terdiam. Melirik sekilas, tak ada embusan napas dari putrinya membuatnya terpaku. Gadis itu, anaknya … tidak mungkin mati.

“Karin.”

Pria berumur 40 tahun itu memeriksa denyut nadi Karin, tetapi tidak dapat merasakan denyut pada pergelangan tangan gadis itu lagi.

“Karin, bangun! Bangun, Sialan!” teriaknya.

Pria paruh baya itu menggoyangkan tubuh putrinya, tetapi tak ada respons.

“Karin, ayah minta maaf. Jangan mati.”

“Karin, bangun, tolong. Karin … ayah … ayah tidak mau Karin mati.”

“Tolong, Nak, bangun. Ayah minta maaf,” kata pria itu sambil terisak. “Ayah juga—sayang Karin, tolong bangun.”

Pria itu menangis sesenggukan, memeluk tubuh pasi gadis itu. Keinganannya terwujud. Gadis itu sudah mati. Namun, mengapa ia sedih? Ini keinginannya, ‘kan? Mengapa ia merasa kehilangan?

Penulis merupakan mahasiswa Pendidikan Gurub Sekolah Dasar Angkatan 2023

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Cerpen: Keinginan Karin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Follow by Email
YouTube
YouTube
WhatsApp
Tiktok