Oleh : Nurhalizah
Mahasiswa Pendidikan Matematika Unsulbar angkatan 2017
Unsulbar News. Aku dilahirkan di sebuah dusun terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak sawah dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang kakak, lima tahun lebih tua dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah binder, aku mencuri tiga puluh ribu dari laci ibuku. Ibu segera menyadarinya. Beliau bertanya kepada kami, dengan sebuah sapu ijuk di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Kata ibuku geram.
Dia mengangkat sapu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, kakakku mencengkeram angannya dan berkata.
“Ibu, aku yang melakukannya! “.
Sapu itu menghantam punggung kakakku bertubi-tubi. Sesudahnya, Beliau duduk di atas kursi dan memarahi kakakku.
“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?” Malam itu, aku memeluk kakakku dengan sangat erat. Tubuhnya dipenuhi luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku mulai menangis. Kakakku menutup mulutku dan berkata
“jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa wajah kakakku ketika ia melindungiku. Waktu itu, kakakku berusia 15 tahun. Aku berusia 11. Ketika kakakku berada pada tahun terakhirnya di SMA, ia lulus untuk masuk perguruan tinggi di kota. Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk SMA di kecamatan. Malam itu, ayah duduk di teras, menghisap rokoknya, bungkus demi bungkus. “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…”.
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas. Sambil berkata
“Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”.
Saat itu juga, kakakku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata
“Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, sudah cukup membaca banyak buku.”
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul kakakku pada wajahnya sambil berkata
“Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?. Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kalian berdua sampai selesai!”.
Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka kakakku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke SMA. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, Kakakku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit bekal. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku
“Dek, kamu harus tetap sekolah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang,” begitu isi kertas tersebut.
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang kakakku hasilkan dari mengangkut beras pada punggungnya di lokasi penggilingan, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di SMA) .
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan ” Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !”.
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat kakakku dari jauh, seluruh badannya kotor . “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah kakakku?”
Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah kakakmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? “
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari kakakku, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku “Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah kakakku bagaimana pun penampilanmu.”
Aku menarik kakakku ke dalam pelukanku dan menangis.
“Berjanjilah untuk fokus pada pendidikanmu, banggakan aku dengan prestasimu”. Ucap kakak mengelus kepalaku.
Tahun ketigaku selesai dan aku berhasil lolos ke perguruan tinggi negeri. Dengan perasaan bahagia aku menemui kakakku. “Kamu hebat, selamat ya. Aku sangat bahagia mendengarnya. Aku bangga padamu”. Ucapnya sambil menarik kursi dalam pelukannya. Kata itu seakan menjadi kebahagiaan terbesar bagiku. Akhirnya aku bisa melakukan sesuatu yang bisa membuat kakakku merasa bahagia
Di dunia ini, orang yang sangat berjasa dan paling berharga dalam hidupku adalah kakakku. Secercah pencapaianku hari ini, tak sebanding dengan banjiran pengorbanannya untukku. Di penghujung senja aku berjanji kepada diriku sendiri. Akan kukejar mimpiku demi mewujudkan harapan seorang kakak yang sangat berarti bagiku. Aku akan sukses dan menarik kakakku dari pekerjaan kasar yang telah banyak melukai tubuhnya. Segalanya hanya untuknya, untuk kakakku, pahlawanku
Apa yang harus kita pelajari dalam cerpen tersebut?
Mendekatkan diri dengan Dunia literasi Dan sastra kak.. sukses selalu