Penulis : Indri Astuti, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Angkatan 2021
Unsulbar News — “Iri adalah termasuk emosi alamiah yang sudah mengakar hingga busuk dalam diri manusia.”
Rizki mengangguk-anggukan kepalanya membaca kalimat pertama dari layar komputer.
“Sementara dengki merupakan bentuk kebencian terhadap manusia lain atas kenikmatan yang mereka miliki.”
Kening Rizki mengerut. Dia merapatkan kedua bibirnya mencoba memahami arti dari kalimat kedua.
Baca Cerbung Rizkisaurus (Eps.1) – Kepercayaan Rizki
“Iri dengki itu disebut juga sebagai seseorang dengan perasaan yang menginginkan hilangnya kesenangan dari orang lain, serta berusaha mengambil/memindahkan kesenangan itu kepada dirinya sendiri.”
Rizki akhirnya termenung. Dia memandangi deretan huruf dalam monitor lalu berdecak. Punggungnya dia sandarkan pada bangku dan mulai tertawa sinis.
Menertawai dirinya sendiri.
Perihal pagi ini, dia tiba-tiba melenggang ke kampus usai mendapatkan notif dari dosen yang membatalkan kelas siang. Rizki tentu bersyukur– bukannya bersyukur karena tidak belajar, Rizki bukanlah tipe mahasiswa seperti itu. Karena itulah pagi ini dia mendadak menancap gas motornya ke kampus meski belum mandi sekalipun.
Dengan pakaian alakadarnya, rambut berantakan dan muka belum dicuci– Rizki percaya dia masih tampan. Dia melangkah masuk ke perpustakaan yang sepi. Menuju lantai kedua dan mengambil posisi di depan komputer. Mengetikkan kata kunci yang membuat hatinya resah.
Iya, resah. Sepagi ini Rizki sudah merasakan keresahan. Bukan, bukan dari pak Kaprodi yang memang hobi mengejarnya, melainkan informasi yang dia dapat dari group kelas.
Mahasiswa yang tercatat sebagai penerima KIC (Kartu Indonesia Cerdas) sudah dapat mencairkan dana di rekening masing-masing.
Rizki menghela napas. Dia tahu tidak ada yang salah dari pemberitahuan itu. Alih-alih kabar buruk, malahan hal tersebut adalah kabar paling membahagiakan seantero kampus. Tapi kenapa Rizki tak suka pada announcement menyebalkan yang dia baca pagi ini?
–sudah dapat mencairkan dana …
Rizki menggebrak meja. Beruntung tak ada satupun makhluk bernyawa di ruangan itu. Kenapa Rizki harus meresahkan hal yang tidak perlu? Kenapa pula dia capek-capek galau hanya untuk pengumuman beasiswa? What the hell.
Men! Rizki?
Rizkiawan Syahputra bin Ahmad Assegaf yang selalu kelihatan cool tiada tara dan tidak ada tandingannya itu, baru saja merasa tidak suka pada mereka-mereka yang ‘beruntung’ mendapatkan dana gratis dari pemerintah.
Dia cembu-!
Rizki menutup mulutnya. Memberi isyarat pada otaknya untuk berhenti mengoceh. Dia dengan amat keras menolak kecemburuannya.
Bukan, bukannya Rizki benar-benar cemburu sampai merasa iri dengki pada ‘mereka’. Toh, Rizki– bukannya sombong, dia merasa bahwa kebutuhannya tercukupi. Material yang diberikan orang tua tercinta juga selalu datang meski kadang telat sampai bikin ketar-ketir. Kaprodi juga selalu siap diancam jika semisal Rizki benar-benar dalam keadaan terpuruk dan butuh dana untuk melunasi UKT. Dan Alhamdulillah-nya, Rizki belum pernah menjalankan plan ketiga demi keselamatan bersama.
Apa yang Rizki resahkan disini hanyalah …
Rizki menggigit bibirnya gemas begitu instagram story dari salah satu oknum mahasiswa yang memotret lembaran uang seratusan dengan caption ‘Adakah bakso’ tidak lupa emoticon lope-lope dan orang salto. Melambangkan kebahagiaan sampai pengen makan bakso.
Kepala Rizki cenat-cenut.
Sebuah notif chat tiba-tiba masuk ke handphonenya. Dari mama tersayang.
‘Nak, minggu ini kami belum kirim uang, yah. Mungkin minggu depan atau minggu depannya lagi. Tolong sabar, yah.’
Rizki mendadak terdiam. Isi kepalanya buyar membaca sebaris pesan tersebut. Dia menghela napas. Ibu jarinya mengetikkan sesuatu.
“Santai, sayang. Saya anak laki-laki, loh. Tidak apa-apa.”
Yass! Rizki memang sekeren dan seromantis itu. Meski hatinya mewek dia tetap harus menunjukkan jiwa kelelakiannya terhadap wanita yang sudah membesarkannya tersebut. Merepotkan beliau lebih dari ini adalah kesalahan. Meski Rizki tak akan memprotes jika dirinya juga masih menjadi beban keluarga.
Rizki bangkit dari duduknya, dia berjalan menuruni tangga dan berhenti di depan parkiran. Seorang mahasiswa yang sedang berusaha menyalakan mesin motornya menarik perhatian Rizki. Motor itu sepertinya mogok.
“Motornya kenapa, Bang?” sahut Rizki.
Mahasiswa itu menoleh kepada Rizki lalu tersenyum, “Biasalah penyakit motor tua.”
“Mau ganti baru kali,” celetuk Rizki lagi sok akrab.
“Haha!” Mahasiswa itu turun dari motornya lantas berjongkok dan memeriksa mesin motor tersebut. “Butuh 10– 100 tahun kali biar saya bisa ganti motor.”
Rizki memperhatikan gelagat mahasiswa itu, tasnya terlihat kumuh dan dia yakin motor yang dia gunakan juga motor keluaran lama. Tapi Rizki tetap saja berceletuk, “Nabung uang BM setahun juga bisa dapat yang baru kalau memang niat.”
“Haha… Saya juga harapannya bisa dapat BM. Tapi ternyata enggak. Saya pikir karena saya yatim piatu, dan cuma tinggal sama nenek di rumah kayu yang bahkan tidak punya toilet– saya bisa ‘dinobatkan’ sebagai mahasiswa miskin yang berhak dapat biaya gratis dari pemerintah. Tanya nyatanya ….”
Rizki tidak mengerti kenapa mahasiswa itu tiba-tiba curhat tentang dirinya. Tapi … sulit rasanya mendengar cerita pilu dari orang yang benar-benar miskin dan menjadi pengamat dari mereka yang memiskinkan dirinya. Meski tidak seironis masa kecil Naruto, tapi hidup dalam realitas seperti itu memanglah cukup kejam.
Apa Rizki harus menjadi Hokage dahulu agar bisa menegakkan keadilan dan kedamaian?
Rizki hanya tak habis pikir, sebuta itukah ‘para peninjau’ untuk melihat mana yang ‘miskin’ dan benar-benar miskin. Apakah mereka mesti membangkitkan Sharingan dahulu agar dapat melihat dengan jelas?
Oh, iya… Teman Rizki menjual kacamata minus dengan harga murah. Mungkin kapan-kapan Rizki harus menjadi reseller dan menawari para staff.
Rizki duduk di jok motornya. Perasaan resahnya tidak berkurang sedikitpun. Meski begitu, sebuah rasa syukur menghampiri dirinya. Dia bersyukur motor yang dia pakai tidak pernah mogok– kecuali bensin habis. Bersyukur pada baju-baju yang dia pakai ternyata masih baru. Bersyukur karena dia masih bersama kedua orang tuanya hingga saat ini.
Apalagi dia juga memiliki wajah ganteng, tidak sombong, sholeh, baik hati dan rajin menabung. Yang ini tidak perlu dicatat.
Rizki menghela napasnya. Cela apalagi yang dia lihat dari pemberian Tuhan ini? Dia mungkin juga tidak mendapatkan Beasiswa tersebut, Rizki ikhlas, kok!
Ssst, tapi tahu tidak, sih kenapa manusia itu dikatakan sebagai mahkluk sosial?
Karena mereka adalah mahkluk yang bergantung dan saling terhubung dengan manusia lainnya. Karena itulah manusia yang tidak memperhatikan manusia lainnya dianggap tidak wajar, semakin mengurangi kesosialanmu maka rasa sosial itu juga akan tumbuh. Sama seperti perasaanmu kepada mantan ayang. Sama seperti seorang introvert yang selalu memperhatikan sekitar meski tanpa action.
Kita semua tercipta dari rasa sosial. Dari melihat manusia satu ke manusia lain. Karena itu, rasa iri termasuk dalam sifat alami manusia.