Oleh Khairunnisa Lukman
mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Unsulbar
Unsulbar News. Masalah finansial telah menjadi masalah klasik dalam dunia pendidikan tidak tanggung-tanggung angkat kaki dari dunia pendidikan formal terkadang menjadi buntut dari masalah ini. Dilansir dari CNN Indonesia, data dari UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan. Begitupun dengan data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan kelompok masyarakat yang terkena dampak paling rentan sebagian besar dari keluarga miskin.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada mengumumkan hasil penelitian hasil bantuan siswa miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Ditemukan sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal. Meski demikian rencana menyekolahkan anak ke jenjang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9 persen. Hanya 6,1 persen yang menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.
Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. mengatakan dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespon perubahan komposisi demografi.
Seakan mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya wajib belajar 12 tahun, Bantuan Siswa Miskin, Kartu Indonesia Pintar. Sementara dalam lingkup pendidikan tinggi pemerintah Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan beasiswa Bidikmisi untuk meningkatkan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi bagi peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi dan berpotensi akademik baik. Bantuan biaya pendidikan diberikan sejak calon mahasiswa dinyatakan diterima di perguruan tinggi negri selama 8 semester untuk program Diploma IV dan S1, dan selama 6 semester untuk program Diploma III.
Pemberian beasiswa Bidikmisi tentu tidak diberikan begitu saja melainkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain Indeks prestasi kurang dari batas minimal yang ditetatapkan, terbukti memalsukan data-data persyaratan, tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang diwajibkan oleh kampus, menikah, melakukan pelanggaran hukum, mengundurkan diri, melanggar peraturan kontrak bidikmisi. Dari sekian banyak persyaratan diatas yang paling banyak membuat bidikmisi mahasiswa dihentikan adalah indeks prestasi kurang dari batas minimal yang ditetapkan. Hal ini juga terjadi di Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) dengan standar IPK 2,75, ternyata masih membuat sejumlah penerima bidikmisi kewalahan.
Sebagai seorang mahasiswa penulis mencoba merumuskan bebera hal yang mengakibatkan IPK yang diperoleh dari hasil satu semester, antara lain kesulitan dalam berinteraksi dengan mahasiswa lain karena merasa malu dan canggung, kesulitan dalam bekerjasama dalam membuat kelompok, tidak mampu mengatur waktu kuliah dan organisasi dengan baik, kesulitan menjalin relasi dengan senior karena merasa takut dan segan kepada senior, kesulitan memahami materi yang disampaikan oleh dosen, merasa terbebani dengan perbedaan metode belajar di perkuliahan dibanding dengan waktu SMA dulu, kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya karena perbedaan bahasa, serta malas mengikuti perkuliahan.
Penulis pernah berbincang-bincang dengan salah satu staf Unsulbar yang membeberkan bahwa ada dosen yang mengadu padanya lantaran banyaknya mahasiswa yang meminta perbaikan nilai. Mereka yang datang rata-rata adalah penerima bidikmisi yang mendapatkan nilai “C” dan meminta agar nilainya berubah dari “C” ke “B”. Mahasiswa tersebut menghadap dengan kata-kata yang lazim digunakan pada penerima bidikmisi saat meminta perbaikan, “saya mau perbaikan nilai pak, saya penerima bidikmisi, nanti bidikmisi saya dicabut” yah, kurang lebih seperti itulah. Padahal dalam menjalankan proses perkuliahan mahasiswa tersebut katanya jarang masuk saat perkuliahan berlangsung dan otaknyapun pas-pasan bagaimana bisa nilainya bisa diubah. Apalagi penulis pernah mendengar bahwa nilai C itu tidak bisa diubah. Namun yang menarik dari kondisi seperti ini adalah bagaimana dosen menyikapi hal tersebut, karena ini menyangkut profesionalitas dan hati nurani dari seorang dosen, hati mana yang tega melihat mahasiswa terpaksa berhenti kuliah hanya karena faktor ekonomi?
Terlepas dari itu teman-teman mahasiswa harus mengetahui bagaimana cara kira belajar, bersikap agar kita dapat fokus dalam masa perkuliahan dan tidak mengalami hal serupa, khususnya bagi mahasiswa bidikmisi yang tidak mau samapai bidikmisinya dicabut. Hal yang pertama adalah “Luruskankan niat” semua adalah berawal dari niat. Bila niatnya sudah salah, maka langkah-langkah selanjutnya dan hasilnya akan menjadi bermasalah dan tidak optimal. “Rajin belajar” ini adalah trik lama yang sudah sering-sering didengungkan dan juga sering kita dengar. Tidak ada yang memungkiri bahwa bila ingin mendapatkan IPK tinggi maka kita juga harus rajin belajar. Rajin belajar itu berarti kita bersamangat secara terus menerus dalam belajar apapun yang terjadi. Kita akan bersemangat ketika mengikuti perkuliahan, bersemangat ketika mengerjakan tugas-tugas perkuliahan, bersemangat ketika membaca banyak paper jurnal ilmiah, bersemangat ketika membuat ringkasan materi (resume), bersemangat ketika mengerjakan persiapan tugas presentasi, dan bersemangat ketika melakukan segala macam aktivitas akademik lainnya. Dan kita juga harus aktif dikelas. Mulailah berani dalam mempertanyakan beberapa pertanyan ringan bertanya tentang materi yang baru saja disampaikan oleh dosen bila dirasa ada yang belum jelas.
Mengatur waktu dan pikiran. Untuk mendapatkan IPK tertinggi maka diperlukan mengatur penggunaan waktu dan pikiran. Nah yang berat adalah membagi pikiran. Membagi waktu itu lebih gampang dari pada membagi pikiran. Membagi waktu bisa dilakukan dengan membuat jadwal kegiatan. Yang menjadi masalah adalah ketika kita sudah berdisiplin menepati jadwal kegiatan yang sudah ditetapkan namun pikiran kita masih susah untuk dikondisikan untuk fokus pada kegiatan yang telah ditetapkan. Di sinilah letak tantangannya, perlu belajar mengkondisikan perpindahan (switching) pikiran dari fokus pada satu kegiatan ke kegiatan yang lain. Kemudian kurangi main game, facebok-an, twitter-an, dan jejaring sosial lainnya. Di sini penulis menyarankan untuk mengurangi, bukan menghentikan sama sekali. Bermain game, facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya memang mengasyikkan. Kita akan merasakan tahu-tahu sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain itu semua. Yang berbahaya adalah ketika tugas-tugas kuliah menjadi tidak terkerjakan akibat keasyikan bermain di sosial media. Atau juga bila waktu untuk belajar terkurangi akibat keseringan bermain-main itu semua. Maka tidak ada jalan lain selain menyadari bahwa itu semua adalah kesalahan dan sobat bertekad kuat mengendalikan diri untuk menguranginya.
Dan yang terakhir adalah ikhlas. Penulis sengaja memasukkan ikhlas dalam hal-hal yang perlu diperhatikan untuk meraih IPK tertinggi, karena ikhlas inilah yang akan menjadi kunci kesuksesan. Setelah menerapkan trik dan tips seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, ada kalanya ternyata kita bisa mencapai IPK tertinggi dan juga bisa mencapai IPK yang standar-standar saja. IPK berapapun yang teman-teman dapatkan maka teman-teman harus ikhlas menerimanya, selama itu memang wajar anda terima karena seseorang pernah mengatakan “dosen adalah manusia, mungkinkah ia objektif”. Ikhlas juga akan membuat teman-teman menjadi tidak putus asa dalam perjuangan usaha meraih IPK terbaik.